Minggu, 18 Maret 2018

Benchmark Cinta Zaman Old

Hello guys! Its me Cer.
Hari ini gue lagi sakit, dengan seribu macam alasan. Besok mestinya divisi gue di kantor pada pergi business trip overseas, tapi gue ga pegi. Yhaa mungkin gue baper. Tapi ngga sih, karena gue tau disana bakal super business minded dan ngga jalan jalan. HAHAHA gue kan cenayang yu nooooo?
Alasan kedua adalah karena gue lagi mengalami LDR (lagi) setelah beberapa hari lalu laki gue dateng ke sini dengan alasan business trip. Gue emang pacaran sama satu orang kantor anyway, tapi bukan orang satu kantor gilaaakk banyaque benjet wkwkwkwk gue sebenernya ga pernah berpikir bakal pacaran sama orang yang dari beda kota sih, tapi yha gimana namanya ditemuinya begitu.
Alasan ketiga adalah keknya gue laper.

Oke begitu dulu awalannya.
Jadi di hari Minggu berfaedah gue ini, sebenernya gue rencana mau buat cookies buat bekal laki gue balik ke sana, rencana LDR ini akan postpone buat beberapa hari, karena laki gue ada bustrip lagi ke sini yeayyyyy!!!
Tapi karena gue sakit, maka gue ngga jadi. Hmmmm... Jadi gue cuma ngegeratak barang barang di meja belajar gue yang dah sekian tahun ga gue sentuh. Dan gue menemukan sebuah kartu wayang, sebenernya tarot sih tapi ini adalah tarot yang gue beli cuma karena gambarnya wayang. Yha gue emang suka sih yang berhubungan dengan wayang dan hal tradisional lain, terutama yang ada ceritanya. Gue kan emang hidup dalam drama HAHAHA

Kisah hari ini, masih ngga jauh dari cinta, Blog gue kayanya emang spesialis beginian ya belakangan ini, sorryyy soalnya bokap nyokap gue dah lama ga melakukan hal hal absurd euy ~

Hari ini gue mau cerita tentang Benchmark 'Cinta Sejati' di dalam kisah wayang, Rama&Sinta. Yang gue juga gatau gimana ngejanya wkwkwkwk
Tapi gimana ya, mereka ini emang benchmark cinta sejati, yang katanya walaupun terpisahkan tapi berjuang untuk bisa sama sama lagi.

Begini ceritanya.

Rama & Sinta.
Semua menyalahkan Rahwana, tanpa memandang kalau semua orang punya alasan ketika melakukan sesuatu.

Rahwana, biarpun iblis juga punya cinta.
Cinta kepada istrinya Wedowati, yang meninggalkan dia karena mati
Diam sendiri, karena cintanya pergi, tapi hati tak bisa berpaling.

Hingga suatu hari sadarlah dia, cintanya lahir kembali.
Dalam bentuk Sinta.
Yang dihadiahkan dalam sebuah sayembara, menikah dan sudah punya cinta.
Sang raksasa hanya punya dua pilihan,
Merelakan, atau merebut kembali.

Dia memilih yang kedua.

Maafkan Rahwana, Sinta, karena memaksa kamu jauh dari duniamu.
Maafkan Rahwana, Sinta, karena cintanya terlalu dalam.
Rahwana kira, kamu sang Renjana.

Sinta dalam istana di Alengka,
tak pernah satu kalipun Rahwana memaksanya.
Karena Ia yakin, cinta akan kembali padanya.
Sinta dijadikan bagai permaisuri, tanpa sedikitpun disakiti.
Kecuali hatinya, yang masih mengharapkan Rama datang menyelamatkan.

Dalam kekuasaannya, sesungguhnya Rahwana bisa memilih untuk memaksa Sinta.
Toh Sinta tak akan bisa lari, dan tak bisa memilih.

Cinta mengubah sang Raksasa menjadi lembut.
Cinta yang tak pudar bisa melemahkan amarah.
Cinta membuat hidup jadi lebih berharga.
Tapi cinta yang ini bertepuk sebelah tangan.
Sinta tak bisa cinta pada dua orang.

Dan akhirnya cinta pula yang membuat hati bisa rela.
Rela melepaskan, supaya cintanya bahagia,
Rahwana kembali masuk ke dua pilihan.
Memaksa, atau berjuang sampai mati.
Dia tetap memilih yang kedua.

Tiga periode setelah istrinya pergi.
Datang Rama dengan pasukan,
dan si Hanoman.
Menyerang Alengka, mencari Sinta.

Maka bertempurlah keduanya,
memperjuangkan cintanya pada sang Dewi.
Maafkan kami, Rahwana.
Pergilah tepati janji.
Rahwana mati.

Senyum kembali nyata di wajah Sinta.
Melihat orang terkasihnya datang menyelamatkan.
Tapi Rama melihatnya berbeda.

Bertahun tahun Sinta menjaga hatinya untuk yang dicinta,
semua sia sia.
Rama sekarang bimbang.

'Masihkah engkau menjaga kesucianmu untukku?'

Bahkan untuk memeluk dan melepas rindu pun Rama tak mau.
Hancur hati Sinta.
Dihadapkan pada kenyataan, bahwa dia berjuang untuk orang yang bimbang.

Namun yakin hatinya, bahwa dia benar masih murni,
Sinta pergi ke api, tempat dulu Wedawati juga mati.
Namun murninya melindunginya.
Setianya pada Rama membuat dia tidak terbakar.

Tapi apadaya.
Dalam api dia meratap.

Salahkah yang kupilih?

Lebih baik mana, bersama yang kucinta, atau mencintaiku?

Satu tanya yang tak akan pernah bisa dia jawab.

Yang pasti, Rahwana disana sudah selesai.
Mengabdi sampai mati.



Senin, 05 Maret 2018

Bangun dari Drama

Teruntuk kamu, sebuah nyata diantara segala drama.

Karena aku baru menyadari dua detik setelah kamu datang, kalau tidak hanya drama dan mimpi di awang awang yang ada dalam dunia. Bukan tentang Renjana lagi, sesuatu yang kubuat sendiri, untuk kupuja sendiri. Bukan lagi si Renjana yang katanya bisa memanggil aku dalam diam. Bukan lagi tulisan tentang kesedihan, yang bahkan tak jelas apa alasannya.

Memang terlambat kah, jika baru setelah ribuan hujan yang berulang itu, aku baru menyadari kalau bukan siapa-siapa yang kurindukan. Bukan seseorang yang tersimpan aman di balik kerah bajuku, yang kataku disana dia akan tetap ada.
Tapi aku lupa, kalau tak ada tinta yang abadi, walaupun kerah baju itu masih tetap tertutup rapi.

Pada saatnya, tinta akan pudar, walau tetap ada noda yang ditinggalkan. Tinggal sepandai apa kita membuatnya indah kembali. Kita, aku dan kamu.

Memandang kamu, yang nyata, bukan berati semua jadi indah. Ini realita. Dimana kita harus bersuara untuk didengar, minta untuk diberi, dan berjuang untuk mencapai akhir yang manis.

Kubilang, tiap tulisanku adalah kesedihan. Kubilang juga Renjana akan tetap ada disini.

Di detik ketiga pertemuan kita, aku kembali bernapas dengan angin yang lama. Bukan lagi dalam angan yang tak jelas. Detik yang pada akhirnya membuat aku berbalik, menata kembali hidup dalam kenyataan.

Renjana pun juga telah bahagia, walau ku juga tidak tau dimana dia berada. 

Kamu membuat aku menikmati indahnya melawan ego. Walau di saat yang sama, aku juga sedang diantara hidup dan mati.
Kamu meyakinkan aku untuk berjalan ke tujuan yang benar, walau aku menutup mata sekalipun.
Kamu membuatku merasakan kembali rasanya berjuang untuk mendapat.
Kamu membuka mataku, kalau dunia tak semungil imajinasi.

Aku bukan lari dari Renjana, dan semena-mena menjadikanmu gantinya.
Karena kubaru bangun dari tidur panjang, dua detik setelah sang Pangeran datang.
Kamu pangerannya.

Love,
Cerio.
yang hidup dalam nyata.

Sabtu, 20 Mei 2017

Renjana

Semuanya tentang kamu. Tidak peduli kamu tau atau tidak.

Kamu tau renjana? Dia yang untuknya-lah kamu diciptakan.
Benang yang diikat pada kalian, saat masih dalam kandungan.
Yang dipilihkan untukmu tanpa kamu bisa memilih.
Di dalam kamu setengah jiwanya berada.

Entah terikat cinta atau bukan.

Kepada Renjanaku.
Yang bahkan lewat mimpi pun bisa memanggilku.
Dalam amarahpun mendengar panggilanku.
Bahkan dalam diam pun kudengar suaranya.

Ingatkah kamu radar yang kita temukan itu?
Yang secara ajaib terpasang di kita masing masing.
Terhubung dalam gelombang rindu.
Mengalir dalam tangis.
Dan mendekap dalam bayangan.

Masih berfungsikah dia?
Bahan bakarnya hanya kenangan.
Beruntung kenangan kita banyak,
Tak perlu khawatir segera habis.

Renjana.
Masihkah bisa kamu masuk ke mimpiku?
Memaksa aku untuk mencarimu besok pagi.
Atau masih dapatkah kau dengar aku memanggilmu dalam hati?

Sejauh apa aku melangkah, aku tak takut tersesat,
Aku tau caranya datang padamu.
Segelap apapun jalan yang kamu tempuh, tenanglah,
Aku bisa menuntun kamu kembali.

Bisakah kita ukir lebih banyak kenangan?
Aku takut radar ini menjadi lemah.
Aku takut tidak bisa menemukan kamu lagi.
Aku takut tidak bisa membawa kamu pulang kesini.

Aku lebih suka kalau ini cinta.
Apalagi kalau kita bersama.
Bisakah kita pergi ke antah berantah,
Yang hanya ada kita. Bisa?

Walau katanya cinta tak harus memiliki,
Tapi bolehkah aku minta yang satu ini?

Renjana.
Jangan pergi jauh ya,
Jaga benangnya jangan sampai putus.

Jika memang ini bukan cinta,
Bolehkah katakan pada cintamu,
Izinkan aku jaga setengah jiwamu bersamaku.
Sampai aku siap mengakui
Kalau Renjana bukan melulu tentang cinta.

Jika kau anggap Renjanaku begitu indah,

Kami membuat sakit tanpa tau cara memulihkan.
Kami menikmatinya.
Tiap memanggil dalam mimpi, air mata yang ada.
Tiap mendengar dalam diam, rasa sesak yang kami hirup.

Walaupun kita sama sama tau,
Renjana ini memang cinta.
Ini cinta.
Dan kita tau juga,
Cinta yang ini bukan untuk memiliki.

Tapi ini bukan akhir segalanya.
Kamu tetap disini kan?

Minggu, 22 Januari 2017

Biarkan Malam Tak Berlalu

Aku suka malam.
Tepat pukul dua pagi, saat aku merasa sepi.
Aku suka terjaga, memastikan mata dan pikiranku tetap tinggal dalam nyata.
Kalau tetiba aku harus lupa tentang apa yang seharusnya kuingat.

Aku takut tertidur.
Khawatir ketika mataku terbuka nanti, aku tak ingat lagi.
Aku tak ingat warna bajumu hari itu, yang tersimpan di lembaran foto hitam putih.
Aku takut lupa alasan kita tertawa.

Kenapa harus menyambut pagi selarut ini?
Malam kan juga indah.
Atau, haruskah memalingkan wajah dari Sang Bulan,
padahal kilaunya pun adalah mentari.

Aku masih ingin malam,
belum siap membuka pagi.
Aku takut melupakan apa yang seharusnya kuingat.
Kamu.

Aneh rasanya menjalani pagi, ketika masih terjebak dalam malam.
Memandang mentari ketika hangatnya bulan yang terasa.

Berjalan dalam terang sambil menutup mata.
Supaya hanya malam sajalah yang terasa.

Aku belum mau pagi.
Biarkan aku menjalani malam dulu,
sampai nanti akhirnya aku siap,
membuka mata dan lupa lagi.

Walau sebenarnya, aku tidak akan pernah lupa.
Kita.

Minggu, 07 Agustus 2016

Hujan di Balik Kerah Baju

Duduk diam aku dalam bus jam 5.19 sore, disambut hujan di minggu penutup bulan Juli. Ya, ini bulan Juli, pantas hujan datang lagi. Menuju akhir pekan, aku mulai menghitung waktu, telah kutinggalkan penatku di kantor sore tadi. Bukan selamat tinggal, karena aku tau, nanti kan kutemui dia lagi. Sampai jumpa.

Bersama hujan, mesin waktuku. Masih hujan yang sama, yang menyoraki perpisahan waktu itu dengan kenangan tiga tahunku. Juga hujan yang sama, yang tertawa di langkah pertama hidupku ke tujuan yang baru. Juga masih dia yang membawa pelangi setelah jutaan airmataku kala aku jatuh ke kesalahan yang baru.

Tapi hujan kali ini lain, bukan hujan yang biasa. Hujan ini manis. Dia membawa kamu kembali disini. Tidak, aku ralat.

Dia membawa aku kembali kesana,
karena kamu tidak akan kembali

Hujan manis ini, membawaku pada baju seragam akhir sekolahku.
Diatas baju ukuran tigabelas setengah itu penuh tercoret nama dan pesan teman temanku. Tiap goresan disana punya makna, yang nyata terlihat semua orang.

Ada teman seumur hidupku disana, yang setiap harinya bicara bersamaku tanpa mendengar pelajaran yang dibawa guru hari itu. Hujan ini juga yang pernah kulalui bersamanya, kala akhirnya kami tertawa riang karna diberikan waktu lebih untuk mengobrol di luar kelas, karena topik obrolan ini lebih menyenangkan daripada yang dibicarakan di dalam kelas.

Ada ketua kelasku disana, yang berpesan supaya aku membuka mataku lebih lebar. Katanya, aku harus menyadari kalau lebih panjang jalan yang harus kudaki, daripada hanya diam dan tertawa sepanjang hari. Masih banyak batu yang harus kulompati, daripada sekedar menangis semalaman. Dan lebih banyak bintang yang harus kuhitung daripada hanya menyisir rambut berjam-jam.

Ada perempuan kecil yang duduk di kiri belakang juga. Tidak banyak hujan yang kulihat bersamanya, yang aku ingat hanya dia dan ikan di dua akuarium. Ikan ikannya membuat aku duduk lebih tenang dan banyak berpikir tentang perbedaan. Perbedaan yang tidak akan bisa disatukan, bukan seperti air dan minyak, tapi lebih rumit dari itu.

Ada juga si penghapus papan tulis. Dia yang terpanggil untuk menyelesaikan soal di papan tulis, tapi hanya menulis dan kemudian menghapus. Menulis lagi di tempat yang sama, lalu menghapus lagi, dan menulis kata yang sama lagi disana. Sampai akhirnya hitam itu tertinggal disana dan tak pernah terhapus. Hujanku bersamanya adalah tentang hitam yang tak terhapus, yang kalau terhapuspun tak akan sempurna lagi.

Ada si pemutar jam dinding ruang piket, yang tugas hariannya adalah membodohi penekan bel istirahat. Setiap hari, 9.20 pagi dia keluar kelas, menyelinap ke ruang piket yang kosong dan memutar jamnya, dan kembali ke sana selesai kelas. Istirahat kami setiap hari jadi lebih cepat sepuluh menit di pagi hari, dan jam belajar kami jadi lebih singkat sepuluh menit. Sampai suatu hari dia tertangkap, dan semuanya kembali normal.

Ada si sapu terbang. Pernah satu kali dia terbang dengan sapunya, menabrak cermin satu meter di depan pintu masuk. Dalam paniknya, dia susun serpihan besar cermin, lalu bercermin disana. Katanya, sudahlah, semuanya tidak lagi sama.

Ada si rambut keriting. Tiap pagi kerjanya merapikan rambut dengan wax, supaya tak dipanggil Si Keriting lagi. Satu orang yang tak cinta pada dirinya, yang rela berpura-pura demi citra diri yang dianggapnya lebih baik. Namun di dalamnya, dia tetap sama. dia tetap Si Keriting.

Ada si pemakan mie instan. Baginya, hidup harus serba cepat. Semua hanya berorientasi pada hasil, tak peduli dampaknya nanti. Pernah dalam sepanjang aku mengenal dia, perutnya sakit, akibat bakteri yang tidak bekerja baik. Pencernaannya rusak. Yasudahlah, bagi dia yang penting hasil.

Ada goresan ungu disana, dengan nama yang familiar bagiku. Anak rambut pirang. Entah apa yang dia pikirkan tentang aku, hanya berpesan, "Warnai hidupmu seperti aku mewarnai rambutku". Maksudnya?

Ada penjaga gawang disana. Dalam setiap pekerjaannya, dia hanya diam di areanya. Berdiri manis dan melakukan pembelaan diri.


Ada anak Perokok, yang dalam sehari mungkin bisa habiskan berkotak-kotak rokok dari sakunya. Asapnya masih beraroma sampai saat ini, mungkin hanya perasaanku saja. Katanya, dia tak bisa hidup tanpa rokok. Pesannya padaku, jangan pernah lakukan apapun yang aku tau aku tak akan bisa lepas. Aku ingat sampai hujan hari ini.

Ada yang kurasa kurang. Tapi yang kulihat, baju seragamku sudah penuh warna warni dan kenangan hujanku.

Tak ada goresanmu.

Kenapa kamu tak nampak di baju ukuran tigabelas setengahku?
Kenapa kau tak bisa kubaca dalam kenangan hujanku?

Kamu adalah dia yang beraroma kue manis baru matang, yang jadi pengganti sarapanku yang terlewat. Aku selalu sarapan kue manis. Dia adalah si perut lentur, yang aku takut dia berubah menjadi kotak kotak. Aku suka memaksa dia makan di malam hari, supaya kotak itu tidak pernah datang.

Kamu yang datang bersama hujan.

Kamu adalah seorang Acrophobia yang ikut berdiri gemetar di tempat terjun tertinggi, supaya aku tidak ketakutan sediri disana. Sayang, aku tidak takut, tak perlu kamu lakukan itu untuk aku.
Kamu adalah dia yang berdiri dibawah dalam panik, ketika aku melompat lebih tinggi dan terikat dekat trampolin. Kamu yang berharap aku baik baik saja di sana. Kamu yang memeluk aku si gemetar karna adrenalin yang terpacu, dan berkata, "Lain kali jangan begitu lagi, aku takut kamu sakit."
Kamu yang paling tau cara terbaik membawa aku melihat bintang di siang hari.
Kamu yang memerah alergi karna memaksakan diri makan udang bersamaku.
Kamu yang marah karna aku pergi naik gunung dengan keadaanku yang kamu tau tak mungkin.
Kamu yang dingin, menjawab aku di pagi hari, kemudian hilang sepanjang hari.
Kamu yang berpisah dalam hujan.
Yang membiarkan aku menangis dibawah pelangimu.
Yang datang dan pergi semudah aku mengganti pakaianku saat bersiap bertemu kamu.
Kamu akhirnya hilang bersama alasan yang tak akan pernah aku anggap nyata.

Tapi hujan ini lain, hujan ini manis.

Kalaupun kamu tak ada di luasnya baju seragam ukuran tigabelas setengahku, kamu selalu punya tempat kecilmu sendiri. Tempat yang hanya kamu sendiri.
Sepenuh apapun yang dilihat orang, kamu akan tetap ada dalam hujan.
Kamu akan tersimpan disana, jadi satu kenangan yang tiada satu orangpun akan mengusiknya.

Goresanmu akan tetap nyata disana, 
Di balik kerah baju ukuran tigabelas setengahku.
Kapanpun aku rindu, kapanpun kamu akan datang,
kamu harus tau kamu tetap kusimpan disana,
Di balik kerah baju ukuran tigabelas setengahku.

Akhir Juli,
Memandangi dua ikan kecil di akuarium.
Membalik kerah baju,

Cerio.



Selasa, 26 Mei 2015

Realisasi Mesin Waktu

"Goodbye means I don’t wanna see you anymore. For sure."
  Ketika suatu hari kamu duduk diam setelah terbangun dari mimpi semalam, dengan tatapan mata kosong, tetiba kamu teringat pada suatu kenangan. Kenangan baik, atau buruk, yang berisi air mata walau dapat membei dua arti. Kenangan bersama orang yang saat ini masih bersamamu, atau yang sudah pergi meninggalkanmu. Meningalkan dalam arti yang sebenarnya, pergi ke rumah yang lebih baik, atau pergi ke orang yang lebih baik.

  Ada satu mesin waktu yang nyata di dunia ini. Nyata, namun belum sesempurna yang kuinginkan. Ada suatu mesin waktu yang dapat membawaku melihat masa lalu, namun belum sampai mencapai masa depan. Mesin yang dapat membawa kembali orang yang pergi, bahkan menghidupkan kembali orang mati, namun aku masih tidak dapat menyentuhnya. Mesin hebat yang dapat mengembalikan aku ke masa lalu, tanpa bisa mengubahnya. Mesin waktuku adalah hujan.

  Kalau orang bilang, di dunia ini tidak ada yang kekal, hanya Tuhan saja. Tapi bagiku, ada suatu yang setia. Sesuatu yang dapat kau lihat, kau sentuh, dengar, rasakan. Namun nyata, bukan sekedar khayalan negeri dongeng. Hanya satu yang selalu sama,  walau ke belahan dunia manapun kau pergi, sekalipun terang dan gelap berganti, dia tetap dia. Dia adalah satu yang setia, bertahan mengarungi jaman. Bagiku, dia adalah hujan.

  Hujan berputar di siklus yang sama setiap waktu, turun, naik, turun lagi, tanpa kita tau dari mana mulanya.

  Sepertinya, hujan memang selalu membawa kenangan. Kenangan, seperti apa yang pernah ia lihat di kehidupan sebelumnya.  Merekam, lalu memutarnya kembali nanti di pikiran orang yang tepat.

  Sadarkah kamu kalau hujan masih mencurahkan air yang sama seperti air yang dicurahkannya saat kau baru lahir? Itu juga air yang sama seperti air yang tercurah kala kau tertawa bahagia menjalani  sekolah pertamamu. Air yang sama yang turun mengiringi tangis bahagiamu atas kejutan ulang tahunmu yang ke-17. Bahkan air yang sama yang nantinya akan mengiringi tangis duka orang yang kehilanganmu. Air yang tak pernah kau tahu berapa usiannya, namun juga tak dapat kau tebak berapa banyak kenangan yang disimpannya.

  Kenangan yang dikembalikan hujan hari ini adalah tentang dia. Tentang seseorang, yang bersamanya telah kulalui ratusan, ribuan, bahkan tak terhitung hujan. Sekejap aku kembali ke masa lalu, dimana aku dapat melihatnya dengan jelas, namun tetap tak dapat kusentuh lagi. Kudekati pun tidak. Tapi paling tidak, semuanya masih tersimpan sama seperti terakhir ditingalkan.

  Ini bukan rindu, hujan yang memutarkan kenangan itu untukku,. Tapi akankah hujan putarkan yang sama juga untuknya?

 Hujan terakhir kami, adalah hujan perpisahan. Hujan yang menonton amarahku, air mataku, menghalangiku mengatakan kata ajaib itu, “Selamat Tinggal”. Walau akhirnya dia gagal.

  Yaaa.. paling tidak kau sudah melakukan yang terbaik, hujan.

"Do you have something that always brought the memories, either bad or good ones? For me it will always be rain."

Rabu, 20 Mei 2015

Cnta Seorang Perokok

  Aku lintingan tembakau pabrikan, yang diam di dalam kotak. Aku bahkan tak dapat menikmati hidupku sendiri, hanya diam dan menunggu seseorang menemukan aku, menarikku dari kotak merah sempit ini, tempat aku berjejalan dengan sebelas temanku yang lain. Kalaupun suatu hari aku ditemukan, ditarik, dan dipisahkan, maka takdirku adalah untuk dibakar, dan habis. Namun itu takdirku, aku sebatang rokok. Kebahagiaan bagiku, jika mereka menikmatiku sampai habis.
Jika kamu, diibaratkan sebagai seorang perokok berat, lalu apakah cinta bagimu?

  Suatu pagi, kau terbangun, dengan aroma tembakau yang masih kuat di hela napasmu. Bukan segelas air putih yang menyegarkan, kau tarik ponselmu, memastikan dirimu tidak ketingalan kabar apapun. Kau tak ingat apapun, kecuali semalam kau habiskan dengan pesta pora bersama mereka, yang kau katakan selalu ada buatmu. Mereka yang kau panggil teman.
Tak ada yang berbeda, hari ini semua sama. Bangun tidur, memandangi ponsel, membakar rokok, baru memulai aktivitas, bersama asap yang tak putus. Ya, kau seorang pecandu rokok. Pencinta katamu.

  Katamu juga, kau tak dapat hidup tanpa sebatang rokok itu. Sebatang yang mana? Yang kau habiskan semalam, sebelumnya, sebelumnya lagi, atau yang sekarang sedang kau bakar? Kau bakar satu per satu, padahal kau bilang tak bisa hidup tanpa sebatang yang kau bakar itu?
Bagaimana kau ungkapkan cintamu? Sebatang rokok hanya dapat kau nikmati dengan membiarkannya habis terbakar, kan? Kau buat dia menyala, berasap, kau katakan kalau dia yang terbaik, menghabiskannya hingga garis merah, lalu sudah. Kadang kau matikan nyalanya, namun kadang kau hempas, lalu injak dengan ujung kakimu. Apalagi jika kau tau masih punya sebelas batang lain yang siap kau bakar. Begitu kan?

  Berapa banyak waktu dalam hidupmu yang kau butuhkan untuk menghabiskan sebatang rokok, sebelum akhirnya kau bakar yang baru? Sepuluh menit? Limabelas menit? Aku tak pernah bisa memastikannya. Kamu selalu berubah. Namun aku tau, tak lama bagimu menyelesaikan sebatang rokok itu.

  Tapi apalagi yang aku harapkan? Toh aku hanya sebatang rokok, yang katanya melengkapi hidupmu. Ya, berarti, lebih tepat dikatakan berguna, mungkin? Berguna untuk menyambung kepulan asapmu selama sepuluh menit, sebelum akhirnya kau bakar yang baru. Sementara kau sibuk mengatakan, “Aku tak bisa hidup tanpamu”.

Cinta dua anak manusia, tidak serendah itu.
Kata cinta bukan hanya untuk seseorang yang singgah sejenak, diam, hingga akhirnya tersingkirkan jika kau dapatkan yang baru. Bukan untuk seseorang yang kau pertahankan ketika tak ada yang lain yang siap menggantikan, namun kau buang jauh ketika kau sadar kau punya cadangan.
Cinta, bukan sekedar kata, “Aku tak bisa hidup tanpamu,” yang kau katakan pada semua orang. Namun tanpanya, kau tetap hidup dengan yang lain. Dia tak semurah itu.
Walau dia berkorban, tapi cinta tak seperti seorang perokok.

Cinta bukan seperti seorang pecinta rokok yang baginya kamu hanyalah sebatang rokok sekedar untuk menyambung asapnya.