Satu jam lalu, ketika dia belum naik, gelapku sungguh nyaman. Hangatku yang sempurna, dalam selubungku, selimutku, duniaku.
Satu jam lagi, aku tau yang akan aku lakukan: bersiap menyambut hari.
Wajahku yang tak lebih lebar dari telapak tanganku sudah siap dengan apa yang akan diterimanya: polesan bedak.
Aku juga tau pasti yang akan aku lakukan sembilanpuluh menit setelah ini: berdiri diam limabelas menit, menunggu bus yang biasa berhenti, masuk kedalamnya, kembali ke rutinitas. Kembali ke luar dunia.
Jauh dari sembilanpuluh menit, aku bahkan sudah tau akan ada di mana aku pukul lima sore nanti: berdiri diam duapuluh menit, menunggu bus yang biasa berhenti, masuk kedalamnya, pulang kembali ke duniaku. Dunia yang milikku.
Bahkan, aku tau apa yang harus kulakukan besok: sama seperti hari ini.
Haruskah?
Ini adalah kisah bus kota, pukul 5.19 sore.
Aku tau benar, kemana aku akan bergulir sore ini, kataku. Hampir seluruhnya dalam hidupku, aku ada di jalan yang sama, bergulir menuju tujuan yang entahlah-sebenarnya-yang-mana. Kata mereka tujuanku ke sana, namun aku tak pernah diam di tujuanku, pasti aku kembali ke tujuanku yang lain. Lain? Tidak pernah. Selalu sama.
Dua mataku hanya memandang ke depan. Keduanya seakan terkunci kesana, atau mungkin aku sudah lupa caranya melihat ke arah lain. Aku mencintai pemandanganku, yang setiap hari jelas dan sama, walau tujuannya entah-yang-mana.
Aku mencintai rutinitasku.
Ya, aku mencintai rutinitasku.
Mungkin.
Oh.. Aku tau, aku nyaman dengan rutinitasku. Terlalu nyaman hingga tidak tau rasanya tidak ada di sini.
Aku tau benar kalau lima ratus dua belas meter dari sini, aku akan tergoncang akibat lubang. Terperosok tepat di roda kanan depanku, lalu naik kembali ke jalan rata. Kemarin aku merasakannya, tadi pagi aku merasakannya. Selama hidupku aku merasakannya. Guncangan yang kadang tidak aku hiraukan, namun kadang sangat menggangguku.
Kau lihat jalan di depan sana? Tikungan yang tajam.
Aku tidak dapat menebak apa yang akan aku temukan di sana. Maksudku menebak secara pasti. Tapi bukan berarti aku tidak tau apa yang akan ada di sana. Itu bisa saja bus lain, mobil besar, mobil kecil, sepeda motor, sepeda, bahkan pejalan kaki. Bisa yang mana saja. Yang jelas cukup mengganggu jalanku, kadang menggores tubuhku.
Sakit? Abaikan saja.
Aku tak peduli panas, hujan, atau cuaca, atau debu, atau apapun.
Aku hanya peduli matahari terbenam milik langit sore hari. Dia menggoda aku, jelas. Di menit ini, dia akan menampakkan pesona maksimalnya. Bagiku, itu cukup menambah semangat dan motivasiku untuk terus bergerak, mendekat.
Tapi tunggu dulu. Hujan? Jelas aku peduli hujan.
Demi tujuan-yang-entah-di-mana itu, aku tidak takut membuat diriku basah. Aku tak takut guliranku terendam air, atau sekedar takut tidak dapat melihat apa yang ada di depan.
Tenang saja, aku mengenal setiap jengkal jalan ini. Mengenalnya dengan seluruh hidupku.
Dan aku peduli setiap hujan di hari yang cerah. Pelangi. Pelangi yang tepat. dengan urutan warna yang selalu sama, namun seperseribu detik pun tidak membuatku jemu. Dia tak pernah ada di tempat yang sama.
Detik ini pun, aku tetap berjalan di jalurku.
Aku berjalan lurus memandang kedepan bukan untukmu. Bukan untuk mengantarmu ke tempat yang kau tuju.
Aku berjalan dalam nyamannya hidupku, memandang duniaku yang berbatas, membiarkan diriku sakit hingga kadang bernar-benar-sakit, bukan ingin menemanimu sampai di tempatmu. Pertarunganku bukan untukmu.
Aku bertahan dalam lupa akan indahnya petualangan bukan untukmu.
Ini untuk aku, dan pelangi yang mengajakku menemukannya.
Pelangi kebahagiaanku.
Pelangi kebahagiaan kita.
Love,
Cerio Cantiks,
Mencintai lupa rasanya hidup tanpa mencintai pelangiku.
Kau lihat jalan di depan sana? Tikungan yang tajam.
Aku tidak dapat menebak apa yang akan aku temukan di sana. Maksudku menebak secara pasti. Tapi bukan berarti aku tidak tau apa yang akan ada di sana. Itu bisa saja bus lain, mobil besar, mobil kecil, sepeda motor, sepeda, bahkan pejalan kaki. Bisa yang mana saja. Yang jelas cukup mengganggu jalanku, kadang menggores tubuhku.
Sakit? Abaikan saja.
Aku tak peduli panas, hujan, atau cuaca, atau debu, atau apapun.
Aku hanya peduli matahari terbenam milik langit sore hari. Dia menggoda aku, jelas. Di menit ini, dia akan menampakkan pesona maksimalnya. Bagiku, itu cukup menambah semangat dan motivasiku untuk terus bergerak, mendekat.
Tapi tunggu dulu. Hujan? Jelas aku peduli hujan.
Demi tujuan-yang-entah-di-mana itu, aku tidak takut membuat diriku basah. Aku tak takut guliranku terendam air, atau sekedar takut tidak dapat melihat apa yang ada di depan.
Tenang saja, aku mengenal setiap jengkal jalan ini. Mengenalnya dengan seluruh hidupku.
Dan aku peduli setiap hujan di hari yang cerah. Pelangi. Pelangi yang tepat. dengan urutan warna yang selalu sama, namun seperseribu detik pun tidak membuatku jemu. Dia tak pernah ada di tempat yang sama.
Detik ini pun, aku tetap berjalan di jalurku.
Aku berjalan lurus memandang kedepan bukan untukmu. Bukan untuk mengantarmu ke tempat yang kau tuju.
Aku berjalan dalam nyamannya hidupku, memandang duniaku yang berbatas, membiarkan diriku sakit hingga kadang bernar-benar-sakit, bukan ingin menemanimu sampai di tempatmu. Pertarunganku bukan untukmu.
Aku bertahan dalam lupa akan indahnya petualangan bukan untukmu.
Ini untuk aku, dan pelangi yang mengajakku menemukannya.
Pelangi kebahagiaanku.
Pelangi kebahagiaan kita.
Love,
Cerio Cantiks,
Mencintai lupa rasanya hidup tanpa mencintai pelangiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar