Selasa, 26 Mei 2015

Realisasi Mesin Waktu

"Goodbye means I don’t wanna see you anymore. For sure."
  Ketika suatu hari kamu duduk diam setelah terbangun dari mimpi semalam, dengan tatapan mata kosong, tetiba kamu teringat pada suatu kenangan. Kenangan baik, atau buruk, yang berisi air mata walau dapat membei dua arti. Kenangan bersama orang yang saat ini masih bersamamu, atau yang sudah pergi meninggalkanmu. Meningalkan dalam arti yang sebenarnya, pergi ke rumah yang lebih baik, atau pergi ke orang yang lebih baik.

  Ada satu mesin waktu yang nyata di dunia ini. Nyata, namun belum sesempurna yang kuinginkan. Ada suatu mesin waktu yang dapat membawaku melihat masa lalu, namun belum sampai mencapai masa depan. Mesin yang dapat membawa kembali orang yang pergi, bahkan menghidupkan kembali orang mati, namun aku masih tidak dapat menyentuhnya. Mesin hebat yang dapat mengembalikan aku ke masa lalu, tanpa bisa mengubahnya. Mesin waktuku adalah hujan.

  Kalau orang bilang, di dunia ini tidak ada yang kekal, hanya Tuhan saja. Tapi bagiku, ada suatu yang setia. Sesuatu yang dapat kau lihat, kau sentuh, dengar, rasakan. Namun nyata, bukan sekedar khayalan negeri dongeng. Hanya satu yang selalu sama,  walau ke belahan dunia manapun kau pergi, sekalipun terang dan gelap berganti, dia tetap dia. Dia adalah satu yang setia, bertahan mengarungi jaman. Bagiku, dia adalah hujan.

  Hujan berputar di siklus yang sama setiap waktu, turun, naik, turun lagi, tanpa kita tau dari mana mulanya.

  Sepertinya, hujan memang selalu membawa kenangan. Kenangan, seperti apa yang pernah ia lihat di kehidupan sebelumnya.  Merekam, lalu memutarnya kembali nanti di pikiran orang yang tepat.

  Sadarkah kamu kalau hujan masih mencurahkan air yang sama seperti air yang dicurahkannya saat kau baru lahir? Itu juga air yang sama seperti air yang tercurah kala kau tertawa bahagia menjalani  sekolah pertamamu. Air yang sama yang turun mengiringi tangis bahagiamu atas kejutan ulang tahunmu yang ke-17. Bahkan air yang sama yang nantinya akan mengiringi tangis duka orang yang kehilanganmu. Air yang tak pernah kau tahu berapa usiannya, namun juga tak dapat kau tebak berapa banyak kenangan yang disimpannya.

  Kenangan yang dikembalikan hujan hari ini adalah tentang dia. Tentang seseorang, yang bersamanya telah kulalui ratusan, ribuan, bahkan tak terhitung hujan. Sekejap aku kembali ke masa lalu, dimana aku dapat melihatnya dengan jelas, namun tetap tak dapat kusentuh lagi. Kudekati pun tidak. Tapi paling tidak, semuanya masih tersimpan sama seperti terakhir ditingalkan.

  Ini bukan rindu, hujan yang memutarkan kenangan itu untukku,. Tapi akankah hujan putarkan yang sama juga untuknya?

 Hujan terakhir kami, adalah hujan perpisahan. Hujan yang menonton amarahku, air mataku, menghalangiku mengatakan kata ajaib itu, “Selamat Tinggal”. Walau akhirnya dia gagal.

  Yaaa.. paling tidak kau sudah melakukan yang terbaik, hujan.

"Do you have something that always brought the memories, either bad or good ones? For me it will always be rain."

Rabu, 20 Mei 2015

Cnta Seorang Perokok

  Aku lintingan tembakau pabrikan, yang diam di dalam kotak. Aku bahkan tak dapat menikmati hidupku sendiri, hanya diam dan menunggu seseorang menemukan aku, menarikku dari kotak merah sempit ini, tempat aku berjejalan dengan sebelas temanku yang lain. Kalaupun suatu hari aku ditemukan, ditarik, dan dipisahkan, maka takdirku adalah untuk dibakar, dan habis. Namun itu takdirku, aku sebatang rokok. Kebahagiaan bagiku, jika mereka menikmatiku sampai habis.
Jika kamu, diibaratkan sebagai seorang perokok berat, lalu apakah cinta bagimu?

  Suatu pagi, kau terbangun, dengan aroma tembakau yang masih kuat di hela napasmu. Bukan segelas air putih yang menyegarkan, kau tarik ponselmu, memastikan dirimu tidak ketingalan kabar apapun. Kau tak ingat apapun, kecuali semalam kau habiskan dengan pesta pora bersama mereka, yang kau katakan selalu ada buatmu. Mereka yang kau panggil teman.
Tak ada yang berbeda, hari ini semua sama. Bangun tidur, memandangi ponsel, membakar rokok, baru memulai aktivitas, bersama asap yang tak putus. Ya, kau seorang pecandu rokok. Pencinta katamu.

  Katamu juga, kau tak dapat hidup tanpa sebatang rokok itu. Sebatang yang mana? Yang kau habiskan semalam, sebelumnya, sebelumnya lagi, atau yang sekarang sedang kau bakar? Kau bakar satu per satu, padahal kau bilang tak bisa hidup tanpa sebatang yang kau bakar itu?
Bagaimana kau ungkapkan cintamu? Sebatang rokok hanya dapat kau nikmati dengan membiarkannya habis terbakar, kan? Kau buat dia menyala, berasap, kau katakan kalau dia yang terbaik, menghabiskannya hingga garis merah, lalu sudah. Kadang kau matikan nyalanya, namun kadang kau hempas, lalu injak dengan ujung kakimu. Apalagi jika kau tau masih punya sebelas batang lain yang siap kau bakar. Begitu kan?

  Berapa banyak waktu dalam hidupmu yang kau butuhkan untuk menghabiskan sebatang rokok, sebelum akhirnya kau bakar yang baru? Sepuluh menit? Limabelas menit? Aku tak pernah bisa memastikannya. Kamu selalu berubah. Namun aku tau, tak lama bagimu menyelesaikan sebatang rokok itu.

  Tapi apalagi yang aku harapkan? Toh aku hanya sebatang rokok, yang katanya melengkapi hidupmu. Ya, berarti, lebih tepat dikatakan berguna, mungkin? Berguna untuk menyambung kepulan asapmu selama sepuluh menit, sebelum akhirnya kau bakar yang baru. Sementara kau sibuk mengatakan, “Aku tak bisa hidup tanpamu”.

Cinta dua anak manusia, tidak serendah itu.
Kata cinta bukan hanya untuk seseorang yang singgah sejenak, diam, hingga akhirnya tersingkirkan jika kau dapatkan yang baru. Bukan untuk seseorang yang kau pertahankan ketika tak ada yang lain yang siap menggantikan, namun kau buang jauh ketika kau sadar kau punya cadangan.
Cinta, bukan sekedar kata, “Aku tak bisa hidup tanpamu,” yang kau katakan pada semua orang. Namun tanpanya, kau tetap hidup dengan yang lain. Dia tak semurah itu.
Walau dia berkorban, tapi cinta tak seperti seorang perokok.

Cinta bukan seperti seorang pecinta rokok yang baginya kamu hanyalah sebatang rokok sekedar untuk menyambung asapnya.